Ketika Kita Memilih Merdeka
Tanggung jawab kemerdekaan
Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam keadaan merdeka. Ia memberi manusia kesempatan untuk berkehendak dan memilih, sehingga pada dasarnya kita tidak dipaksa dalam beramal. Salah satu bukti hal ini adalah sabda Rasulullah ﷺ,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan kesalahan dari umatku yang tidak disengaja, dikarenakan lupa, dan dipaksa.” [1]
Kita tidak menerima konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan karena paksaan, yakni saat kita tidak merdeka dalam membuat keputusan. [2] Akan tetapi, sudah menjadi kesepakatan bahwa setiap kejadian itu memiliki sebab dan akibat. Tatkala kita diberi kebebasan untuk memilih dan berkehendak, suka tak suka kita juga harus siap untuk menanggung konsekuensi dari pilihan tersebut. Konsekuensi ini bukan hanya logis, namun juga ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri; dan siapa saja yang berbuat jahat, maka (akibatnya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(Nya).” (QS. Fusshilat: 46)
Dengan demikian, sebenarnya kita hanya sekadar merdeka dalam memilih, dan tidak akan pernah merdeka (baca: terbebas) dari konsekuensi atas keputusan sendiri.
Hal penting yang perlu kita sadari saat memilih untuk merdeka adalah bahwa setelahnya, bukan berarti masalah sudah selesai. Setumpuk masalah justru akan muncul pasca-kemerdekaan. Tidak sedikit bangsa yang sudah puluhan tahun merdeka, namun hari ini rakyatnya masih dijajah kebodohan, kemiskinan, bahkan kelaparan. Inti masalahnya satu, yaitu tidak bijak dalam menyikapi kemerdekaan. Hal ini sejatinya hanya menghasilkan perpindahan dari satu penjajahan, menuju bentuk penjajahan yang lain.
Islam mengajarkan bahwa tidak ada kemerdekaan mutlak, melainkan hanya ada “kemerdekaan” sebagai hak yang tak akan pernah terlepas dari berbagai kewajiban sebagai konsekuensinya. [3] Oleh karena itu, mungkin sebaiknya makna kemerdekaan itu jangan kita batasi pada kebebasan saja, melainkan perlu dilengkapi menjadi kebebasan untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan, dan kebebasan untuk tidak melakukan hal yang semestinya dihindari. Standar mengenai apa saja hal yang seharusnya dikerjakan maupun ditinggalkan itu tentunya dikembalikan kepada Allah Ta’ala, Dzat yang atas berkat rahmat dan kuasa-Nya kita dapat merasakan nikmat kemerdekaan.
Masalah pertama pasca-merdeka
Ketika kita memilih merdeka, masalah yang mungkin akan datang paling awal adalah rasa takut dalam mengambil keputusan, apakah pilihan yang kita ambil benar ataukah tidak. Bagi orang yang beriman, sebenarnya masalah ini sudah selesai sebelum kita memikirkannya. Bayangkan, apabila mendapat kemerdekaan dalam memilih saja sudah menjadi hal yang membahagiakan, bagaimana lagi jika kita senantiasa dibantu untuk mendapat hasil yang terbaik, pada saat kita tidak menyadari bahwa kehendak kita bukanlah pilihan yang tepat.
Inilah keyakinan yang selalu dipegang oleh orang beriman, terutama saat keinginan mereka tak sesuai dengan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya itu baik. Ini tidaklah didapat kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” [4]
Keyakinan ini akan menjadikan kita lebih mantap dengan melangkah, karena kita hanya tinggal memutuskan dan berusaha sesuai dengan apa yang kita ketahui. Adapun yang tidak diketahui, kita serahkan kepada Allah Ta’ala sebagai Dzat Yang Maha Bijaksana. Iman terhadap takdir akan memerdekakan kita bukan hanya secara zahir, namun juga secara batin: merdeka dari penyesalan nonproduktif atas masa lalu, serta merdeka dari kekhawatiran terhadap masa depan.
Merdeka di balik jeruji
Kemerdekaan tidak hanya dapat ditinjau secara lahir saja, namun juga secara batin, dan keduanya tidak selalu berjalan beriringan. Sebagai contoh, banyak kita dengar hikayat raja-raja dunia yang secara lahir nampak merdeka lagi bebas berbuat aniaya. Namun di balik itu, hari-harinya diisi ketakutan akan runtuhnya kekuasaan mereka. Padahal, tanpa perlu takut pun, faktanya sudah terang: tak ada satu pun makhluk yang dapat berkuasa selamanya.
Sebaliknya, adakalanya seseorang itu lahirnya terlihat tidak merdeka, namun berbeda dengan hatinya. Mari kita simak sejenak kisah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Sejarah mencatat masa di mana beliau dipenjara oleh penguasa karena keteguhan beliau dalam mempertahankan kemurnian akidah, serta keberaniannya dalam mengkritik berbagai penyimpangan dalam praktik beragama. Sebagai ulama besar dengan banyak murid lagi memiliki pengaruh luas, bisa saja beliau menolak putusan tersebut dan menggalang perlawanan. Tetapi, beliau tidak mengambil opsi tersebut. Beliau lebih merasa nyaman saat kemerdekaannya direnggut dengan menghuni jeruji, daripada merenggut darah dan “kemerdekaan” kaum muslimin sebagai konsekuensi pemberontakan maupun perang saudara.
Pilihan tersebut justru membuat beliau merasa lebih merdeka. Bahkan, dari balik jeruji inilah asal muasal perkataan beliau yang masih membekas hingga kini, “Apa yang dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Sungguh, surgaku dan taman-tamannya ada di dalam dadaku, ia ada bersamaku dan tidak terpisahkan dariku. Jika mereka memenjarakanku, itu adalah khalwat (menyepi dengan Allah) bagiku. Jika mereka membunuhku, maka kematianku adalah syahid. Jika mereka mengusirku dari negeriku, maka itu adalah wisata.”
Beliau juga berkata, “Orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya terpenjara dari (mengenal) Rabb-Nya Ta’ala.” [5]
Beliau tetap bertahan dalam pilihan tersebut hingga sebagian sumber menyebutkan bahwa beliau wafat di dalam penjara. Keputusan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah ini mungkin membuatnya tampak tidak merdeka secara lahir, namun kemerdekaan batinlah yang beliau dapatkan.
Demikian, semoga kita dapat mengambil pelajaran agar bisa menjadi manusia yang merdeka seutuhnya. Wallahu waliyyut taufiq.
***
Penulis: Reza Mahendra
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
[1] HR. Ibnu Majah no. 2043, dinilai hasan oleh An-Nawawi.
[2] Khotbah Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid: https://almunajjid.com/speeches/lessons/128
[3] Fatwa Islamweb: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/44340/
[4] HR. Muslim no. 2999.
[5] Al-Wabil Ash-Shayyib, hal. 48; Darul Hadits Kairo Cet. III via Syamilah, dikutip dari:
https://muslimafiyah.com/mati-matian-mencari-yang-tidak-bisa-dibawa-mati-kebahagiaan-semu.html
Artikel asli: https://muslim.or.id/107587-ketika-kita-memilih-merdeka.html